Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief menegaskan pihaknya tidak diberi mandat untuk melayani pemberian alat kontrasepsi bagi remaja atau mereka yang belum menikah.
“Agar remaja memahami apa itu program KB, BKKBN telah mengkampanyekan “Genre” yaitu generasi berencana. Melalui program Genre, remaja akan merencanakan kapan akan menikah, kalau sudah menikah merencanakan kapan siap melahirkan dan kapan akan berhenti melahirkan, dan berapa jarak antara anak pertama dan kedua,” kata Sugiri saat memberi kuliah umum tentang demografi kepada mahasiswa FISIP Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa (10/4/2012).
Sugiri menegaskan, pelayanan kontrasepsi hanya diberikan bagi pasangan suami istri yang ingin mengatur kehamilannya. Kepada remaja atau mereka yang belum menikah, BKKBN memberikan sosialisasi dan advokasi soal kesehatan reproduksi. Melalui pengetahuan kesehatan reproduksi remaja akan mengetahui bahwa hubungan seksual pranikah dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Seringkali kehamilan yang tidak diinginkan itu digugurkan atau aborsi dan hubungan seks pranikah juga berisiko tertular penyakit HIV/AIDS, jika berganti-ganti pasangan. Jadi, remaja perlu mengetahui risiko perilaku seks bebas,” ujarnya.
Sosiolog Imam B Prasodjo yang juga menjadi dosen FISIP UI itu, pelayanan kontrasepsi bagi remaja sebaiknya tidak ada, karena hal itu seperti melegalkan liberalisasi seks. Namun, kenyataan di lapangan liberalisasi seks mengakibatkan banyak remaja yang belum menikah melakukan hubungan seks.
Hal ini menjadi dilematis, di satu sisi terjadi kehamilan yang tidak diinginkan yang seringkali terjadi aborsi, di sisi lain untuk mencegah kehamilan bisa menggunakan kondom, bahkan kondom pun sekaligus bisa mencegah penularan HIV/AIDS. “Jadi, BKKBN harus mengkampanyekan kesehatan reproduksi. Dan menyampaikan pesan-pesan penyebab dan risiko yang akan terjadi jika melakukan seks paranikah,” kata Imam.
BKKBN
“Agar remaja memahami apa itu program KB, BKKBN telah mengkampanyekan “Genre” yaitu generasi berencana. Melalui program Genre, remaja akan merencanakan kapan akan menikah, kalau sudah menikah merencanakan kapan siap melahirkan dan kapan akan berhenti melahirkan, dan berapa jarak antara anak pertama dan kedua,” kata Sugiri saat memberi kuliah umum tentang demografi kepada mahasiswa FISIP Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa (10/4/2012).
Sugiri menegaskan, pelayanan kontrasepsi hanya diberikan bagi pasangan suami istri yang ingin mengatur kehamilannya. Kepada remaja atau mereka yang belum menikah, BKKBN memberikan sosialisasi dan advokasi soal kesehatan reproduksi. Melalui pengetahuan kesehatan reproduksi remaja akan mengetahui bahwa hubungan seksual pranikah dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Seringkali kehamilan yang tidak diinginkan itu digugurkan atau aborsi dan hubungan seks pranikah juga berisiko tertular penyakit HIV/AIDS, jika berganti-ganti pasangan. Jadi, remaja perlu mengetahui risiko perilaku seks bebas,” ujarnya.
Sosiolog Imam B Prasodjo yang juga menjadi dosen FISIP UI itu, pelayanan kontrasepsi bagi remaja sebaiknya tidak ada, karena hal itu seperti melegalkan liberalisasi seks. Namun, kenyataan di lapangan liberalisasi seks mengakibatkan banyak remaja yang belum menikah melakukan hubungan seks.
Hal ini menjadi dilematis, di satu sisi terjadi kehamilan yang tidak diinginkan yang seringkali terjadi aborsi, di sisi lain untuk mencegah kehamilan bisa menggunakan kondom, bahkan kondom pun sekaligus bisa mencegah penularan HIV/AIDS. “Jadi, BKKBN harus mengkampanyekan kesehatan reproduksi. Dan menyampaikan pesan-pesan penyebab dan risiko yang akan terjadi jika melakukan seks paranikah,” kata Imam.
BKKBN