Secara historis, sejak zaman dahulu prostitusi telah menjadi salah satu realitas dalam kehidupan manusia, di Indonesia mulai dari zaman pra kolonial (masa kerajaan) hingga kemerdekaan. Dalam tulisan Koentjoro (1989) bagaimana mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2). Walaupun realitas ini bukan hanya ada di Indonesia bahkan secara umum juga di dunia.
Hingga samapai saat sekarang ini kita dapat menemukan dengan ‘mudah’ tempat- tempat yang menyediakan ‘jasa’ seks ini secara komersil, terutama kota- kota besar. Praktik prostitusi ini tidak hanya dengan adanya lokalisasi tetapi juga dilakukan secara terselubung, seperti kasus yang menggemparkan Kota Padang, Sumatera Barat yaitu terungkapnya penari telanjang (stiptis), Sumatera Barat yang nota benenya dikenal sebagai masyarakat yang memiliki adat dan agama yang kuat. Keberadaan tempat- tempat ‘bisnis lendir’ yang berkedok salon, warung kelambu, tepi- tepi rel kereta api, PSK (Pekerja Seks Komorsial) yang mangkal di tepi- tepi jalan ataupun menggunakan falisitas umum hingga menggunakan media elektronik melalui situs jejaring sosial. Artinya, keberadaan praktik seks bebas ini, telah menjadi ‘sesuatu’ yang tidak terelakan lagi, melainkan bagaimana adanya pengelolaan akan praktik ini secara terkontrol.
Efek sosial dari adanya realitas ini, telah berimbas kepada bentuk- bentuk pola prilaku, dekadensi moral, dan masalah sosial lainnya. Walaupun prostitusi pada dasarnya bukanlah masalah yang baru dan yang baru untuk diungkapkan, bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu ciri dari sebuah kehidupan masyarakat terutama pada kehidupan kota, namun penulis tertarik kembali untuk mengungkapkannya karena adanya ‘keresahan’ atas ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan terhadap pandangan hidup serta efek kesehatan yang ditimbulkan dan merusak moral generasi muda (remaja). Pada dasarnya, menurut hemat penulis hampir diseluruh masyarakat ‘menolak’ praktik prostitusi, karena tidak sesuai dengan nilai dan norma. Disamping itu efek yang ditimbulkannya seperti IMS (Infeksi Menular Seksual), seperti penularan HIV/ AIDS, dan sipilis.
Tempat- tempat prostitusi terselubung ini biasanya di beberapa tempat umum. Menjadi menariknya, kasuistik ini adalah adanya ‘tawaran’ untuk pelayanan prostitusi ini dilakukan secara terang- terangan. Si penjaja seks komersial tidak sungkan untuk menawarkan diri, hingga jika sengaja atau tidak melewati tempat tersebut, mereka dengan beraninya menarik orang yang akan dijadikan sebagai pelanggannya. Hal ini tentu secara langsung atau tidak menjadikan keresahan tersendiri bagi masyarakat atau para remaja yang mungkin saja secara tidak sengaja melewati tempat tersebut karena berada pada perlintasan jalan tempat umum.
Pengalaman penulis sewaktu melakukan melakukan penelitian dengan sebuah LSM lokal yang bekerja sama dengan Hivos Belanda, penelitian tersebut studi kasus Kota Padang (2004), dimana diawali dengan melakukan wawancara dengan para pekerja seks komersial yang ditemui, dalam wawancara tersebut secara gamblang mereka melakukan pekerjaan seperti itu tak lebih kurang disebabkan karena ‘persoalan perut’ yaitu faktor ekonomi walaupun awalnya ‘menyelami’ perkerjaan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dilatar belakangi oleh berbagai macam faktor seperti rumah tangga yang tidak harmonis, hamil di luar nikah, ‘dilakoni’ mantan pacar dan sebagainya. Namun, secara garis besarnya selalu saja disebabkan karena masalah ekonomi, mendapatkan uang dengan cara yang dianggap ‘mudah’ dan bagi remaja yang coba- coba.
Selain itu yang menarik untuk dicermati secara bersama menurut hemat penulis adalah Pertama, sampai dimanakah kontrol masyarakat terhadap praktek prostitusi tersebut pada saat sekarang ini? apakah masyarakat dan pemerintah tidak mengetahui praktek ini? Sehingga tidak terpantaukan sebagai salah satu persoalan yang ‘tidak perlu untuk diselesaikan’ atau prkatek prostitusi tidak lagi sebagai suatu masalah. Kedua, dari beberapa pekerja seks yang pernah dan bahkan sering ditangkap dan dibina di tempat pembinaan PSK (Pekerja Seks Komersial), namun setelah mereka keluar dari tempat pembinaan, mereka kembali lagi untuk melakukan kekerjaan yang serupa.
Ketika ditanyakan dari PSK tersebut hanya mengatakan “kami mau kerja sebagai apa lagi? Orang- orang telah mencap kami sebagai wanita malam”. Ketiga, dalam prakteknya di tempat- tempat tersebut dapat dikatakan sebagai tempat ‘prostitusi kelas rendah’ di mana persoalan kesehatan tentu tak menjadi sesuatu yang terlalu difikirkan sehingga kecendrungannya penularan terhadap penyakit infeksi menular seksual (IMS) tentu lebih mudah terjadi. Keempat, belum adanya upaya dalam pemberitahuan kepada generasi muda dalam bentuk pendidikan seks, bahaya seks bebas bagi remaja, dan kesehatan reproduksi.
Hal ini menurut hemat penulis, perlu adanya suatu solusi yang lebih ‘menyentuh’ lagi kepada hal- hal yang subtansial mencari sebab mengapa mereka melakukan tindakan prostitusi serta mencarikan solusi pekerjaan apa yang yang sesuai dan memungkinkan untuk mereka dapat bertahan hidup dengan keadaan perekonomian yang cukup sehingga tidak kembali untuk melakukan praktek prostitusi lagi. Selain itu dirasakan perlunya adanya pembinaan dalam rumah tangga dan sekolah tentang pengetahuan seks.
Persoalan prostitusi mungkin bisa saja dianggap hal ‘sepele’ dan tidak terlalu menarik seperti hangat dan sengitnya persoalan pada ranah politik, namun secara subjektif penulis dan kita semua berharap semoga masalah ini menjadi perhatian kita bersama, agar tidak menjadi ‘sesuatu’ yang berefek besar untuk generasi dan kehidupan bermasyarakat nantinya bagi kelangsungan generasi bangsa Indonesia.
Kecenderungan perilaku seks bebas ‘ala prostitusi’ ini tentu saja membawa dampak terhadap kesehatan alat reproduksi, meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi illegal yang berembet kepada masalah- masalah sosial.
Generasi muda (remaja) merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan dalam masalah seks, karena masa usia remaja adalah masa yang rentan dalam fase pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sering kali pada fase remaja ini terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, terutama menjadi kecemasan bagi orang tua mereka. Dapat dipahami, kerena pada fase ini remaja yang sering kali juga disebut dengan masa ‘Pancaroba’, pencarian identitas diri, peralihan dari fase anak- anak menuju fase dewasa. Tidak jarang pada fase remaja ini kebanyakan remaja ‘terjebak’ dengan berbagai prilaku- prilaku menyimpang, seperti tawuran, narkoba hingga seks bebas (praktik prostitusi).
Dalam tayangan acara Kick Andy dengan tema “Ancaman Seks Bebas di Kalangan Remaja” diungkapkan hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun BKKBN (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat.
Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah. Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa puberitasnya. Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi ilegal (tayangan Kick Andy tanggal 28 Januari 2011 di Metro TV).
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja dimasa sekarang. Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga dan lingkungan dan hukum, seperti larangan melakukan aborsi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks sejak dini terutama bagi remaja yang rentan dalam usianya. Hal ini akan dapat lebih terwujud dengan baik tentu dengan adanya kerjasama dan perhatian dari orang tua terutama sekali, di sekolah dapat saja memasukan materi tentang seks pada mata pelajaran Bimbingan Konseling, Budi Pekerti atau pada kegiatan ekstrakulikuler dan kerjasama dengan organisasi atau LSM yang bergiat dalam konsentrasi masalah yang serupa seperti PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) dan semuanya itu diwadahi dalam kegiatan PIK Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) di sekolah- sekolah.
PIK remaja dalam tatanan idealnya, dapat dijadikan sebagai wadah untuk para remaja untuk dapat mengakualitasi diri mereka untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang posistif. Baik dalam pengembangan diri, pendalaman pengetahuan yang tidak didapatkan pada mata pelajaran yang ada pada kurikulum di sekolah (pengetahuan seks). Mulai dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Perguruan Tinggi (PT) atau sekolah- sekolah lainnya. Diharapkan institusi pendidikan dapat dengan ‘terbuka’ untuk bermitra dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) untuk memfasilitasi remaja dalam memenuhi kebutuhan perkembangannya untuk membentuk PIK Remaja pada lembaga pendidikan tersebut.
Tantangan terbesar selama ini terhadap belum dapat menerimanya masyarakat Indonesia terhadap masalah seks, terutama untuk diperbincangkan secara ilmiah, terutama pada lembaga pendidikan, tidak lain tersebab budaya, cara pandang orang timur yang masih menganggap ‘tabu’ masalah seks. Oleh karena itu perlunya penulis pikir untuk membuka mind set masyarakat Indonesia, bahwa sudah saatnya bangsa ini menjadikan pendidikan seks menjadi salah satu materi pelajaran bagi remaja.
Banyak kasus kita lihat bagaimana remaja melakukan seks bebas dan praktik prostitusi. Praktik tersebut tidak hanya ‘dikonsumsi secara privasi’ bahkan dipublikasikan pada media elektronik, bahkan dengan mudahnya kita menemukan situs- situs praktik seks bebas (prostitusi) yang dilakukan remaja. Dalam PIK Remaja, remaja diasah untuk ‘menggunakan’ energi yang mereka miliki dalam upaya pengembangan potensi yang mereka miliki. Baik secara individual maupun mengembangan kepedulian sosial (belajar bekerjasama, menghargai individu lain). Sehingga sejak dini generasi muda (remaja) telah terlatih dan memiliki pemahaman terhadap seks dan bahaya seks bebas, kesehatan reproduksi dan pengenalan akan alat- alat kontrasepsi.
Dukungan dari institusi pendidikan sangat besar dalam pembentukan, pengelolaan, dan pengembangan PIK KRR di sekolah- sekolah. Baik dalam bentuk sosialisasi pentingnya PIK Remaja, pengarahan dan bimbingan, hingga penyediaan fasilitas fisik yang dibutuhkan. Dengan adanya PIK Remaja ini diharapkan dapat mengurangi resiko terhadap terjadinya seks bebas pada remja, karena menurut hemat penulis pada saat sekarang ini free sexs tidak dapat di stop lagi namun kita dapat memberikan pemahaman terhadap apa itu seks dan bahayanya jika dilakukan pra nikah (save sex) serta mengancam masa depan mereka. Sehingga melalui PIK Remaja dapat dijadikan alternatif dapat menggali dan mengoptimalkan potensi seluruh anak bangsa untuk menuju rakyat sejahtera. Semoga.
Hingga samapai saat sekarang ini kita dapat menemukan dengan ‘mudah’ tempat- tempat yang menyediakan ‘jasa’ seks ini secara komersil, terutama kota- kota besar. Praktik prostitusi ini tidak hanya dengan adanya lokalisasi tetapi juga dilakukan secara terselubung, seperti kasus yang menggemparkan Kota Padang, Sumatera Barat yaitu terungkapnya penari telanjang (stiptis), Sumatera Barat yang nota benenya dikenal sebagai masyarakat yang memiliki adat dan agama yang kuat. Keberadaan tempat- tempat ‘bisnis lendir’ yang berkedok salon, warung kelambu, tepi- tepi rel kereta api, PSK (Pekerja Seks Komorsial) yang mangkal di tepi- tepi jalan ataupun menggunakan falisitas umum hingga menggunakan media elektronik melalui situs jejaring sosial. Artinya, keberadaan praktik seks bebas ini, telah menjadi ‘sesuatu’ yang tidak terelakan lagi, melainkan bagaimana adanya pengelolaan akan praktik ini secara terkontrol.
Efek sosial dari adanya realitas ini, telah berimbas kepada bentuk- bentuk pola prilaku, dekadensi moral, dan masalah sosial lainnya. Walaupun prostitusi pada dasarnya bukanlah masalah yang baru dan yang baru untuk diungkapkan, bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu ciri dari sebuah kehidupan masyarakat terutama pada kehidupan kota, namun penulis tertarik kembali untuk mengungkapkannya karena adanya ‘keresahan’ atas ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan terhadap pandangan hidup serta efek kesehatan yang ditimbulkan dan merusak moral generasi muda (remaja). Pada dasarnya, menurut hemat penulis hampir diseluruh masyarakat ‘menolak’ praktik prostitusi, karena tidak sesuai dengan nilai dan norma. Disamping itu efek yang ditimbulkannya seperti IMS (Infeksi Menular Seksual), seperti penularan HIV/ AIDS, dan sipilis.
Tempat- tempat prostitusi terselubung ini biasanya di beberapa tempat umum. Menjadi menariknya, kasuistik ini adalah adanya ‘tawaran’ untuk pelayanan prostitusi ini dilakukan secara terang- terangan. Si penjaja seks komersial tidak sungkan untuk menawarkan diri, hingga jika sengaja atau tidak melewati tempat tersebut, mereka dengan beraninya menarik orang yang akan dijadikan sebagai pelanggannya. Hal ini tentu secara langsung atau tidak menjadikan keresahan tersendiri bagi masyarakat atau para remaja yang mungkin saja secara tidak sengaja melewati tempat tersebut karena berada pada perlintasan jalan tempat umum.
Pengalaman penulis sewaktu melakukan melakukan penelitian dengan sebuah LSM lokal yang bekerja sama dengan Hivos Belanda, penelitian tersebut studi kasus Kota Padang (2004), dimana diawali dengan melakukan wawancara dengan para pekerja seks komersial yang ditemui, dalam wawancara tersebut secara gamblang mereka melakukan pekerjaan seperti itu tak lebih kurang disebabkan karena ‘persoalan perut’ yaitu faktor ekonomi walaupun awalnya ‘menyelami’ perkerjaan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dilatar belakangi oleh berbagai macam faktor seperti rumah tangga yang tidak harmonis, hamil di luar nikah, ‘dilakoni’ mantan pacar dan sebagainya. Namun, secara garis besarnya selalu saja disebabkan karena masalah ekonomi, mendapatkan uang dengan cara yang dianggap ‘mudah’ dan bagi remaja yang coba- coba.
Selain itu yang menarik untuk dicermati secara bersama menurut hemat penulis adalah Pertama, sampai dimanakah kontrol masyarakat terhadap praktek prostitusi tersebut pada saat sekarang ini? apakah masyarakat dan pemerintah tidak mengetahui praktek ini? Sehingga tidak terpantaukan sebagai salah satu persoalan yang ‘tidak perlu untuk diselesaikan’ atau prkatek prostitusi tidak lagi sebagai suatu masalah. Kedua, dari beberapa pekerja seks yang pernah dan bahkan sering ditangkap dan dibina di tempat pembinaan PSK (Pekerja Seks Komersial), namun setelah mereka keluar dari tempat pembinaan, mereka kembali lagi untuk melakukan kekerjaan yang serupa.
Ketika ditanyakan dari PSK tersebut hanya mengatakan “kami mau kerja sebagai apa lagi? Orang- orang telah mencap kami sebagai wanita malam”. Ketiga, dalam prakteknya di tempat- tempat tersebut dapat dikatakan sebagai tempat ‘prostitusi kelas rendah’ di mana persoalan kesehatan tentu tak menjadi sesuatu yang terlalu difikirkan sehingga kecendrungannya penularan terhadap penyakit infeksi menular seksual (IMS) tentu lebih mudah terjadi. Keempat, belum adanya upaya dalam pemberitahuan kepada generasi muda dalam bentuk pendidikan seks, bahaya seks bebas bagi remaja, dan kesehatan reproduksi.
Hal ini menurut hemat penulis, perlu adanya suatu solusi yang lebih ‘menyentuh’ lagi kepada hal- hal yang subtansial mencari sebab mengapa mereka melakukan tindakan prostitusi serta mencarikan solusi pekerjaan apa yang yang sesuai dan memungkinkan untuk mereka dapat bertahan hidup dengan keadaan perekonomian yang cukup sehingga tidak kembali untuk melakukan praktek prostitusi lagi. Selain itu dirasakan perlunya adanya pembinaan dalam rumah tangga dan sekolah tentang pengetahuan seks.
Persoalan prostitusi mungkin bisa saja dianggap hal ‘sepele’ dan tidak terlalu menarik seperti hangat dan sengitnya persoalan pada ranah politik, namun secara subjektif penulis dan kita semua berharap semoga masalah ini menjadi perhatian kita bersama, agar tidak menjadi ‘sesuatu’ yang berefek besar untuk generasi dan kehidupan bermasyarakat nantinya bagi kelangsungan generasi bangsa Indonesia.
Kecenderungan perilaku seks bebas ‘ala prostitusi’ ini tentu saja membawa dampak terhadap kesehatan alat reproduksi, meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi illegal yang berembet kepada masalah- masalah sosial.
Generasi muda (remaja) merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan dalam masalah seks, karena masa usia remaja adalah masa yang rentan dalam fase pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sering kali pada fase remaja ini terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, terutama menjadi kecemasan bagi orang tua mereka. Dapat dipahami, kerena pada fase ini remaja yang sering kali juga disebut dengan masa ‘Pancaroba’, pencarian identitas diri, peralihan dari fase anak- anak menuju fase dewasa. Tidak jarang pada fase remaja ini kebanyakan remaja ‘terjebak’ dengan berbagai prilaku- prilaku menyimpang, seperti tawuran, narkoba hingga seks bebas (praktik prostitusi).
Dalam tayangan acara Kick Andy dengan tema “Ancaman Seks Bebas di Kalangan Remaja” diungkapkan hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun BKKBN (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat.
Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah. Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa puberitasnya. Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain yaitu meningkatnya jumlah praktek aborsi ilegal (tayangan Kick Andy tanggal 28 Januari 2011 di Metro TV).
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja dimasa sekarang. Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga dan lingkungan dan hukum, seperti larangan melakukan aborsi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks sejak dini terutama bagi remaja yang rentan dalam usianya. Hal ini akan dapat lebih terwujud dengan baik tentu dengan adanya kerjasama dan perhatian dari orang tua terutama sekali, di sekolah dapat saja memasukan materi tentang seks pada mata pelajaran Bimbingan Konseling, Budi Pekerti atau pada kegiatan ekstrakulikuler dan kerjasama dengan organisasi atau LSM yang bergiat dalam konsentrasi masalah yang serupa seperti PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) dan semuanya itu diwadahi dalam kegiatan PIK Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) di sekolah- sekolah.
PIK remaja dalam tatanan idealnya, dapat dijadikan sebagai wadah untuk para remaja untuk dapat mengakualitasi diri mereka untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang posistif. Baik dalam pengembangan diri, pendalaman pengetahuan yang tidak didapatkan pada mata pelajaran yang ada pada kurikulum di sekolah (pengetahuan seks). Mulai dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Perguruan Tinggi (PT) atau sekolah- sekolah lainnya. Diharapkan institusi pendidikan dapat dengan ‘terbuka’ untuk bermitra dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) untuk memfasilitasi remaja dalam memenuhi kebutuhan perkembangannya untuk membentuk PIK Remaja pada lembaga pendidikan tersebut.
Tantangan terbesar selama ini terhadap belum dapat menerimanya masyarakat Indonesia terhadap masalah seks, terutama untuk diperbincangkan secara ilmiah, terutama pada lembaga pendidikan, tidak lain tersebab budaya, cara pandang orang timur yang masih menganggap ‘tabu’ masalah seks. Oleh karena itu perlunya penulis pikir untuk membuka mind set masyarakat Indonesia, bahwa sudah saatnya bangsa ini menjadikan pendidikan seks menjadi salah satu materi pelajaran bagi remaja.
Banyak kasus kita lihat bagaimana remaja melakukan seks bebas dan praktik prostitusi. Praktik tersebut tidak hanya ‘dikonsumsi secara privasi’ bahkan dipublikasikan pada media elektronik, bahkan dengan mudahnya kita menemukan situs- situs praktik seks bebas (prostitusi) yang dilakukan remaja. Dalam PIK Remaja, remaja diasah untuk ‘menggunakan’ energi yang mereka miliki dalam upaya pengembangan potensi yang mereka miliki. Baik secara individual maupun mengembangan kepedulian sosial (belajar bekerjasama, menghargai individu lain). Sehingga sejak dini generasi muda (remaja) telah terlatih dan memiliki pemahaman terhadap seks dan bahaya seks bebas, kesehatan reproduksi dan pengenalan akan alat- alat kontrasepsi.
Dukungan dari institusi pendidikan sangat besar dalam pembentukan, pengelolaan, dan pengembangan PIK KRR di sekolah- sekolah. Baik dalam bentuk sosialisasi pentingnya PIK Remaja, pengarahan dan bimbingan, hingga penyediaan fasilitas fisik yang dibutuhkan. Dengan adanya PIK Remaja ini diharapkan dapat mengurangi resiko terhadap terjadinya seks bebas pada remja, karena menurut hemat penulis pada saat sekarang ini free sexs tidak dapat di stop lagi namun kita dapat memberikan pemahaman terhadap apa itu seks dan bahayanya jika dilakukan pra nikah (save sex) serta mengancam masa depan mereka. Sehingga melalui PIK Remaja dapat dijadikan alternatif dapat menggali dan mengoptimalkan potensi seluruh anak bangsa untuk menuju rakyat sejahtera. Semoga.
Oleh : Lismomon Nata Sultan Kayo