Kondom selama ini kita kenal sebagai alat kontrasepsi yang dianggap mampu mencegah penyebaran virus mematikan HIV/AIDS. Maka setiap peringatan hari AIDS sedunia tanggal 1 Desember, banyak kalangan turun ke jalan membagi-bagikan kondom. Demikian pula aneka gerakan moral yang memiliki agenda perlawanan terhadap penyebaran virus HIV/AIDS, juga kerap menghimbau penggunaan kondom dan menyebarkan kondom secara gratis. Iklan-iklan kondom yang berseliweran di TV-pun juga tak asing bagi kita. Namun, benarkah kondom mampu mencegah penyebaran virus HIV/AIDS? Jawabannya adalah tidak.
Kondom sebenarnya adalah alat kontrasepsi yang fungsinya adalah untuk mencegah kehamilan dengan membendung masuknya sperma, bukan mencegah penyebaran virus. Bahan baku kondom adalah karet (latex) yang elastis dan memiliki pori-pori berukuran mikroskopis. Pori-pori tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop berlensa elektron. Besarnya pori-pori kondom dalam keadaan tidak meregang adalah sebesar 1/60 mikron, sedang pada saat meregang ukurannya akan menjadi 10 kali lipat lebih besar. Padahal, ukuran virus HIV kira-kira mencapai 1/250 mikron. Maka bisa dibayangkan, betapa ‘bebasnya’ virus tersebut menembus pori-pori kondom.
Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, FDA (badan pengawas makanan dan obat-obatan AS) telah mensyaratkan kepada setiap perusahaan kondom agar mencantumkan peringatan di setiap kemasan yang menyatakan bahwa kondom adalah alat untuk mencegah sperma masuk, bukan mencegah virus. Mayoritas ilmuwan AS telah menyadari bahwa penggunaan kondom untuk mencegah virus HIV/AIDS adalah omong kosong.
Yang lebih masuk akal adalah fakta bahwa kampanye kondom atau kondomisasi atas nama pencegahan HIV/AIDS telah menyuburkan perilaku seks bebas dalam masyarakat. Kondom dijual bebas dimana-mana, yang bahkan membuat pelajar sekolah menengahpun bisa dengan leluasa membeli kondom untuk melakukan hubungan seks dengan sebayanya. Dengan menggunakan kondom, mereka dapat menghindari kehamilan dini serta potensi masalah lain yang berkaitan dengan kehamilan di luar nikah, misalnya putus sekolah dan aborsi. Hal ini tentu sangat meresahkan berbagai pihak. Maka tidak heran jika dalam berbagai survey keperawanan, ditemukan fakta bahwa sebagian besar pelajar sudah tidak perawan lagi. Dan yang lebih menggelikan lagi, semakin gencar kondomisasi dilakukan, semakin tinggi pula angka pengidap HIV/AIDS baru. Manipulasi informasi semacam itulah yang ternyata justru menyuburkan HIV/AIDS.
Seharusnya Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) beserta pihak-pihak terkait mengontrol dan membatasi peredaran kondom secara ketat serta memberikan sanksi pada siapapun yang kedapatan menjual atau mengedarkan kondom secara bebas. Sebab, penyalahgunaan penggunaan kondom berdampak langsung pada semakin maraknya prostitusi dan perzinahan yang ujung-ujungnya adalah semakin tingginya angka aborsi dan pengidap AIDS. Yang harus dipahami, mencegah HIV/AIDS dilakukan bukan dengan sosialisasi kondom, melainkan dengan menjauhkan diri dari segala macam perilaku seks bebas, pelacuran, perselingkuhan, penggunaan jarum suntik narkotik, serta perilaku homoseksual.
Kondom sebenarnya adalah alat kontrasepsi yang fungsinya adalah untuk mencegah kehamilan dengan membendung masuknya sperma, bukan mencegah penyebaran virus. Bahan baku kondom adalah karet (latex) yang elastis dan memiliki pori-pori berukuran mikroskopis. Pori-pori tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop berlensa elektron. Besarnya pori-pori kondom dalam keadaan tidak meregang adalah sebesar 1/60 mikron, sedang pada saat meregang ukurannya akan menjadi 10 kali lipat lebih besar. Padahal, ukuran virus HIV kira-kira mencapai 1/250 mikron. Maka bisa dibayangkan, betapa ‘bebasnya’ virus tersebut menembus pori-pori kondom.
Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, FDA (badan pengawas makanan dan obat-obatan AS) telah mensyaratkan kepada setiap perusahaan kondom agar mencantumkan peringatan di setiap kemasan yang menyatakan bahwa kondom adalah alat untuk mencegah sperma masuk, bukan mencegah virus. Mayoritas ilmuwan AS telah menyadari bahwa penggunaan kondom untuk mencegah virus HIV/AIDS adalah omong kosong.
Yang lebih masuk akal adalah fakta bahwa kampanye kondom atau kondomisasi atas nama pencegahan HIV/AIDS telah menyuburkan perilaku seks bebas dalam masyarakat. Kondom dijual bebas dimana-mana, yang bahkan membuat pelajar sekolah menengahpun bisa dengan leluasa membeli kondom untuk melakukan hubungan seks dengan sebayanya. Dengan menggunakan kondom, mereka dapat menghindari kehamilan dini serta potensi masalah lain yang berkaitan dengan kehamilan di luar nikah, misalnya putus sekolah dan aborsi. Hal ini tentu sangat meresahkan berbagai pihak. Maka tidak heran jika dalam berbagai survey keperawanan, ditemukan fakta bahwa sebagian besar pelajar sudah tidak perawan lagi. Dan yang lebih menggelikan lagi, semakin gencar kondomisasi dilakukan, semakin tinggi pula angka pengidap HIV/AIDS baru. Manipulasi informasi semacam itulah yang ternyata justru menyuburkan HIV/AIDS.
Seharusnya Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) beserta pihak-pihak terkait mengontrol dan membatasi peredaran kondom secara ketat serta memberikan sanksi pada siapapun yang kedapatan menjual atau mengedarkan kondom secara bebas. Sebab, penyalahgunaan penggunaan kondom berdampak langsung pada semakin maraknya prostitusi dan perzinahan yang ujung-ujungnya adalah semakin tingginya angka aborsi dan pengidap AIDS. Yang harus dipahami, mencegah HIV/AIDS dilakukan bukan dengan sosialisasi kondom, melainkan dengan menjauhkan diri dari segala macam perilaku seks bebas, pelacuran, perselingkuhan, penggunaan jarum suntik narkotik, serta perilaku homoseksual.