Tahun baru 1434 Hijriah berlalu diam-diam. Di sejumlah daerah, mengiringi pergantian tahun tersebut, berlangsung acara doa dan dzikir bersama. Masyarakat berusaha menyatukan hati dan pikiran untuk memohon agar tahun mendatang menjadi lebih baik daripada tahun yang baru lewat. Namun sebagian yang lain belum menyadari bahwa tahun telah berganti, dan itu bermakna semakin berkurangnya kesempatan untuk berbuat kebaikan.
Pergantian tahun dapat menjadi momentum bagi kita bersama untuk melakukan introspeksi dan berefleksi tentang apa yang telah kita perbuat. Refleksi semacam ini kian diperlukan agar kegiatan ritual tidak berjarak -- apalagi berjarak jauh -- dengan kegiatan sosial, yang notabene merupakan perwujudan dari pergulatan dalam batin kita. Adanya jarak menandakan bahwa kegiatan ritual tak memberi dampak positif yang berarti terhadap kegiatan sosial kita.
Bila menengok sejarahnya, tampaklah bahwa tahun Hijriah dipancangkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab dengan mengacu pada peristiwa hijrah. Momentum itu dipilih sebagai tonggak tahun Islam dengan pertimbangan hijrah menandakan keteguhan sikap, kesabaran, optimisme, dan kebersamaan masyarakat Muslim dalam menghadapi sejumlah masalah kala itu. Nabi Muhammad, dengan segala keterbatasan logistik, memimpin umat berhijrah dalam rangka tetap menegakkan kebenaran.
Kita, yang hidup di zaman sekarang, rasanya perlu terus menerus memperbarui semangat dengan belajar dari peristiwa hijrah tersebut. Penyegaran semangat itu, di tengah suasana tahun baru ini, amat relevan untuk menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan masa kini. Kita mungkin lebih maju dalam katagori ekonomis, namun mengalami pemiskinan dalam katagori spirit ketuhanan dan kemanusiaan-sosial. Sisi yang terakhir inilah yang seyogyanya memperoleh pengasahan lebih serius dan terus menerus.
Ajakan untuk selalu memperbarui spirit ketuhanan dan kemanusiaan ini barangkali akan dianggap angin lalu untuk kemudian hilang di tengah padang pasir. Namun ia tetap bermakna untuk dinyatakan, agar kehidupan kita tidak berjalan tanpa jiwa. Spirit tersebut dibutuhkan dalam upaya kita menjawab perubahan zaman -- tatkala kita membutuhkan ketahanan diri, kesungguhan yang lebih tegar, optimisme yang realistis, serta kebersamaan yang tidak timpang di antara sesama anggota masyarakat.
Di awal tahun baru 1434 Hijriah ini, pantaslah kita bertanya kepada diri sendiri: ''Apa yang sudah kita lakukan bagi kebaikan bersama?'' -- dikaitkan dengan berbagai hal dan peristiwa, berbagai waktu dan kesempatan, berbagai orang dan kalangan. Adakah titik-titik dalam rentang waktu satu tahun yang baru silam kita telah mengukir kebaikan, menyenangkan orang lain (dalam kebaikan), dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin akan mengusik kita, namun di saat yang sama ia dapat menjadi pemicu bagi kita untuk lebih baik (lagi). Pergantian tahun dapat menjadi momentum refleksi, dapat pula berlalu diam-diam tanpa arti.
Pergantian tahun dapat menjadi momentum bagi kita bersama untuk melakukan introspeksi dan berefleksi tentang apa yang telah kita perbuat. Refleksi semacam ini kian diperlukan agar kegiatan ritual tidak berjarak -- apalagi berjarak jauh -- dengan kegiatan sosial, yang notabene merupakan perwujudan dari pergulatan dalam batin kita. Adanya jarak menandakan bahwa kegiatan ritual tak memberi dampak positif yang berarti terhadap kegiatan sosial kita.
Bila menengok sejarahnya, tampaklah bahwa tahun Hijriah dipancangkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab dengan mengacu pada peristiwa hijrah. Momentum itu dipilih sebagai tonggak tahun Islam dengan pertimbangan hijrah menandakan keteguhan sikap, kesabaran, optimisme, dan kebersamaan masyarakat Muslim dalam menghadapi sejumlah masalah kala itu. Nabi Muhammad, dengan segala keterbatasan logistik, memimpin umat berhijrah dalam rangka tetap menegakkan kebenaran.
Kita, yang hidup di zaman sekarang, rasanya perlu terus menerus memperbarui semangat dengan belajar dari peristiwa hijrah tersebut. Penyegaran semangat itu, di tengah suasana tahun baru ini, amat relevan untuk menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan masa kini. Kita mungkin lebih maju dalam katagori ekonomis, namun mengalami pemiskinan dalam katagori spirit ketuhanan dan kemanusiaan-sosial. Sisi yang terakhir inilah yang seyogyanya memperoleh pengasahan lebih serius dan terus menerus.
Ajakan untuk selalu memperbarui spirit ketuhanan dan kemanusiaan ini barangkali akan dianggap angin lalu untuk kemudian hilang di tengah padang pasir. Namun ia tetap bermakna untuk dinyatakan, agar kehidupan kita tidak berjalan tanpa jiwa. Spirit tersebut dibutuhkan dalam upaya kita menjawab perubahan zaman -- tatkala kita membutuhkan ketahanan diri, kesungguhan yang lebih tegar, optimisme yang realistis, serta kebersamaan yang tidak timpang di antara sesama anggota masyarakat.
Di awal tahun baru 1434 Hijriah ini, pantaslah kita bertanya kepada diri sendiri: ''Apa yang sudah kita lakukan bagi kebaikan bersama?'' -- dikaitkan dengan berbagai hal dan peristiwa, berbagai waktu dan kesempatan, berbagai orang dan kalangan. Adakah titik-titik dalam rentang waktu satu tahun yang baru silam kita telah mengukir kebaikan, menyenangkan orang lain (dalam kebaikan), dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin akan mengusik kita, namun di saat yang sama ia dapat menjadi pemicu bagi kita untuk lebih baik (lagi). Pergantian tahun dapat menjadi momentum refleksi, dapat pula berlalu diam-diam tanpa arti.