Blog     Gambar     Video     Berita    
Topik Pilihan : Puisi Buat Guru     Pedoman BKR     Generasi Berencana     Terlambat Datang Bulan     Posisi Sex    

‘Kondomisasi’ dan ‘Seks Bebas’

Silahkan Klik dulu tombol disamping ini :
Ada salah kaprah yang sangat mendasar terkait dengan HIV/AIDS di negeri ini yaitu pengaitan norma, moral dan agama secara langsung. Padahal, dari aspek medis (catatan: HIV/AIDS adalah fakta medis karena bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) sama sekali tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam ikatan nikah yang sah dan di luar ikatan nikah jika salah satu atau kedua-duanya pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Ini adalah kondisi hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar ikatan nikah. Ini adalah sifat hubungan seks.

Jika penularan HIV terjadi karena hubungan seks di luar nikah, seperti zina, melacur, ‘kumpul kebo’, dll. maka setiap orang yang pernah zina tentulah sudah mengidap HIV. Ada fakta terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks. Penelitan menunjukkan risiko tertular HIV melalui hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif adalah 1:100. Artinya, dari 100 kali hubungan seks hanya satu kali kemungkinan tertular. Persoalannya adalah tidak ada yang bisa memastikan pada hubungan seks yang keberapa terjadi penularan. Bisa saja terjadi pada hubungan seks yang pertama, kelima, ketujuh puluh, dst.

Tidak Akurat

Maka, setiap kali melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan tetap berisiko tertular HIV. Ini bisa terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif.

Dalam artikel “AIDS, Kondomisasi dan Kampanye Seks Bebas” [BULETIN AL-ISLAM EDISI 382 di http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/04/aids-kondomisasi-dan-kampanye-seks-bebas] disebutkan: “Padahal seks bebaslah penyebab utama merebaknya HIV/AIDS, di samping penyalahgunaan narkoba.” Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ (baca: zina) dengan penularan HIV. Penyalahgunaan narkoba juga tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Penularan HIV di kalangan penyalahguna narkoba hanya terjadi pada penggunaan narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Kalau seorang diri menyalahugunakan narkoba tidak ada risiko tertular HIV. Penyalahgunaan narkoba tanpa jarum suntik juga tidak ada risiko tertular HIV. Penularan HIV di kalangan pengguna narkoba dengan suntikan bisa terjadi kalau salah satu di antara mereka ada yang HIV-positif. Kalau semuanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pn mereka memakai jarum bergantian. Ini fakta.

Dalam tulisan “Ironi Pencegahan HIV” di http://www.ezharadio.com/kajian-muslim/160-ironi-pencegahan-hiv.html disebutkan untuk menghindari penularan HIV yaitu “Hindari yang namanya Free Sex alias seks bebas atau perzinaan, kemaksiatan dan penggunaan khamr (termasuk narkoba).” Ya, ini juga ngaco bin ngawur. Cara lain untuk mencegah penularan HIV disebutkan: “Semua jenis industri seks bebas dan narkoba harus diberantas habis. Selain itu, tentu harus ada jaminan dari pemerintah dong mengenai lapangan pekerjaan yang layak dan halal bagi para pelaku bisnis haram tersebut.”

Di negara yang menjadikan kitab suci sebagai UUD yang secara de jure dan de facto tidak ada industri seks dan minuman beralkohol tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Saya kutip utuh informasi tentang AIDS di Arab Saudi: “The Saudi government reported that in 2008 the number of AIDS patients in Saudi Arabia was 13,926 with 3,538 Saudis. An estimated 505 were Saudi females and 769 non-Saudi women. About 80 percent got the virus through sexual activity, 15 percent through blood transfusions and 5 percent unknown. Most AIDS victims are between the ages of 15 and 49, which is a disaster in a young country like ours.” [http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html]

Dalam artikel: “Kesalahan Paradigma: Awal Kegagalan Penanganan Epidemi HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia” [Faizatul Rosyidah, Dokter Klinik Kampus IAIN Sunan Ampel, http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/cetak/faizatul-rosyidah-dokter-klinik-kampus-iain-sunan-ampel-kesalahan-paradigma-awal-kegagalan-penanganan-epidemi-hiv-aids-di-dunia-dan-indonesia - 1/12-2009] disebutkan “Inilah yang menjadi bukti bahwa penyakit berbahaya ini berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang. Selanjutnya, budaya seks bebas pula yang menjadi sarana penyebaran virus HIV/AIDS secara cepat dan meluas di Amerika hingga ke seluruh penjuru dunia. Peranan seks bebas dalam penularan HIV/AIDS ini dibenarkan oleh laporan survey CDC Desember 2002 dan hal ini semakin jelas terlihat dari pola penularan HIV/AIDS ke seluruh dunia.”

Lagi-lagi informasi yang disampaikan tidak akurat. Setelah WHO meresmikan HIV sebagai penyebab AIDS (1986) dan alat dan reagent tes HIV sudah ada maka kasus-kasus kematian yang tidak diketahui penyebabnya kembali diteliti. Di negara-negara maju kalau ada kasus kematian yang penyebabnya tidak bisa dikenali dari aspek medis maka darah dan bagian tubuh yang meninggal disimpan. Salah satu contoh darah di sebuah rumah sakit di Eropa Barat yang disimpan sejak tahun 1954 ternyata menunjukkan hasil yang reaktif ketika dites dengan reagent tes HIV. Kasus AIDS pertama dideteksi di AS tahun 1981.

Penggunaan kata ‘menyimpang’ dalam kaitan dengan (hubungan) seks adalah bahasa moral. Dalam kaidah seks secara biologis tidak ada yang menyimpang. Kalau homoseks dan zina disebutkan sebagai penyimpangan seks maka analoginya adalah perselingkuhan, ‘kumpul kebo’, dll. juga penyimpangan.

Dalam artikel “MIRAS DAN FREE SEX REMAJA, Dalam Perspektif Sosial Budaya [Mudjahirin Thohir, http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/06/miras-dan-free-sex-remaja/ - 16/3-2009] juga disebutkan ” …. menurut seksolog dokter Naek L. Tobing, seks bebas adalah kehidupan primitif. ‘Seks bebas terjadi sebelum agama-agama lahir’”. Wah, apakah di zaman Nabi Adam tidak ada agama? Apakah agama hanya ada di zaman nabi-nabi yang dikenal dengan ajaran agama saja? Pernyataan itu menyesatkan.

Regulasi Pelacuran

Disebutkan pula ” Ketika peradaban semakin maju, dan ilmu pengetahuan berkembang, seks bebas ternyata terbukti membawa banyak persoalan. Selain merusak tatanan sosial juga menyebarkan berbagai penyakit gawat.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gawat disebutkan al. berbahaya. Nah, dari catatan medis menunjukkan penyakit-penyakit yang berbahaya justru tidak terkait langsung dengan ’seks bebas’ (baca: zina). Penyakit yang mematikan, seperti demam berdarah, flu burung, flu babi, malaria, diare, kolera, dll. sama sekali tidak ada kaitannya dengan ’seks bebas’. HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan karena kamatian pada orang-orang yang tertular HIV adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik.

Salah satu cara untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara menghindari pergesekan langsung antara penis dan vagina. Ini al. dapat dilakukan dengan memakai kondom.

Yang dianjurkan adalah memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko di dalam atau di luar nikah yaitu kalau melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Maka, penggunaan istilah ‘kondomisasi’ sebagai bentuk dari upaya pemerintah untuk memasyarakatkan kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko di dalam dan di luar nikah tidak pas. Lagi pula tidak satu pun negara di dunia ini yang memaksa penduduknya untuk memakai kondom sebagai kegiatan massal dalam pencegahan HIV. Semua dilakukan dalam bentuk sosialisasi.

Program ‘wajib kondom 100 persen’ yang didengung-dengungkan di Indonesia merupakan pengekoran terhadap program di Thailand. Program itu dilakukan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Program itu ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Kalau kemudian disampaikan bahwa di negara-negara yang sudah lama menganjurkan kondom tetap ada kasus HIV itu terjadi karena banyak orang yang enggan memakai kondom pada hubungan seks berisiko di dalam atau di luar nikah. Soalnya, tidak ada sanksi hukuman bagi orang yang tidak mau memakai kondom Begitu juga dengan di Thailnd. Yang kena sanksi bukan ‘laki-laki hidung belang’, tapi germo atau induk semang pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular sekual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) itu menandakan ada pelanggan yang tidak memakai kondom. Germo akan mendapat sanksi berupa teguran sempai kepada pencabutan ‘izin’ usaha.

Indonesia mengambil program itu secara ‘telanjang’. Bahkan, menjadi bagian dari peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di beberapa daerah. Program ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia karena di sini tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang ‘resmi’. Perlu diingat tidak ada negara yang 100 persen melegalkan pelacuran. Pendirian lokalisasi pelacuran di beberapa negara dilakukan terkait dengan aspek kesehatan masyarakat. Kesehatan, terutama penyakit IMS pada pekerja seks di lokalisasi pelacuran dikontrol.

Celakanya, Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand. Program ‘wajib kondom 100 persen’ itu adalah urutan kelima dari rangkaian program penanggulangan AIDS di Negeri Gajah Putih itu. Semua program dijalankan secara simultan. Sedangkan di Indonesia program dijalankan secara sporadis.

Maka, tidak ada kaitan antara ‘wajib kondom 100 persen’ dengan kondomisasi. Tapi, di artikel yang dibahas dalam tulisan ini ‘wajib kondom 100 persen’ diartikan sebagai ‘kondomisasi’. Yang diwajibkan memakai kondom adalah ‘laki-laki hidung belang’ yang ‘main’ dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran.

Lagi pula, mengapa kita tidak membalik paradigma (kerangka berpikir). Bukan menyoal ’seks bebas’ tapi mengajak masyarakat untuk tidak melakukan ’seks bebas’. Biar pun ada lokalisasi kalau tidak ada niat dan hasrat tentulah tidak akan ada ’seks bebas’.

Yang perlu diingat adalah yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, lajang, duda atau remaja yang ‘baik-baik’. Fakta ini yang sering luput dari perhatian sehingga yang dihujat hanya pekerja seks. Padahal, mereka justru korban karena ditulari. ***

Kompasiana

Ditulis Oleh : Pusat Remaja YASEMA

Pusat Remaja YASEMA Terimakasih atas kunjungan sobat pada blog ini. Komentar tentang ‘Kondomisasi’ dan ‘Seks Bebas’ dapat sobat sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini. Bagi Sobat yang ingin mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, tolong letakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Berbagi itu bagian dari Ibadah :
0 Comments
Tweets
Komentar

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))